22.3 Prinsip - Prinsip Pembelajaran Tematik - Integratif 25 2.2.4 Manfaat Pembelajaran Tematik - Integratif 26 2.2.5 Implikasi Pembelajaran Tematik - Integratif di SD 27 2.2.6 Pembelajaran IPS Terintegrasi Model Webbed (Jaringan) 28 2.2.7 Bahan Ajar Pembelajaran IPS Terintegrasi 29 Bagaimanakah efektifitas pengembangan pembelajaran Pariwisata merupakan salah satu sektor yang berkembang pesat di era modern saat ini. Padatnya rutinitas hidup membuat manusia memerlukan kegiatan traveling atau pariwisata. Indonesia memiliki beragama potensi pariwisata baik itu dalam bentang alam maupun budaya nya. Kegiatan pariwisata dapat meningkatkan pendapatan daerah dan menjadi pendongkrak citra negara Indonesia di mata dunia. Saat ini dengan munculnya aplikasi media sosial, beragam objek wisata baru bermunculan dan menjadi trend. Wilayah yang dulunya biasa-biasa saja kini menjadi objek vital wisata hingga terkenal di Mancanegara. Artinya setiap daerah memiliki potensi yang bisa dikembangkan untuk menjadi sarana wisata. Dalam mengembangkan pariwisata setidaknya 3 prinsip ini harus terpenuhi. Indonesia punya potensi wisata yang indah 1. Something to See Artinya "ada sesuatu untuk dilihat". Setiap daerah tentu punya objek yang bisa dilihat dan jika objek itu menarik maka ia dapat dijadikan sebagai lokasi wisata wisata. Objek tersebut dapat berupa kenampakan alam maupun budaya. Contohnya saja dulu tidak ada yang namanya wisata Gunung Api Nglanggeran. Namun setelah dikaji ulang ternyata gunung batu tersebut menyimpan potensi wisata sejarah, geologi dan ekowisata. Setelah di kembangkan kini menjadi Desa Wisata dan terkenal hingga mancanegara. 2. Sometihing to do Artinya "ada sesuatu untuk dilakukan". Jika objek wisata sudah ada maka langkah selanjutnya adalah mencari kegiatan yang bisa dilakukan di sana. Jika ada objek air terjun maka selain menikmati indahnya air terjun, wisatawan harus melakukan aktifitas lain seperti berenang, hiking atau lainnya. Orang akan berinteraksi dengan objek tersebut sehingga akan menciptakan kegembiraan dan kesenangan batin. 3. Something to buy Artinya "ada sesuatu untuk dibeli". Tentunya para wisatawan memerlukan kebutuhan di tempat wisata mulai dari makanan, minuman sampai cinderamata. Jadi tempat wisata harus punya beragam pernak-pernik tambahan untuk dibeli. Orang datang ke Bali misalnya, maka disana juga harus ada fasilitas hotel untuk menginap, restoran, outlet cinderamata dan lainnya. Gambar Mulaidari penelitian konseptual mengenai mitigasi Covid-19 di desa wisata (Ferdiansyah et al., 2020); pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dalam perspektif implementasi kebijakan
The purpose of this study was to know and analyze the implementation of the ecotourism principles by the DKI Jakarta's tourist guides. The study is a survey using a questionnaire developed by the underlying theories of five ecotourism principles. In the early stages, theoretical validation was conducted toward 20 respondents. Validity and reliability test results showed all items are valid. Data was collected using simple random sampling technique involving 71 respondents. The measurement of the implementation used mean score and the result was then described. Two categories of the respondent criteria, the tourist guide level and the working experience were also analyzed using non parametric analysis Mann Whitney dan Kruskal Wallis with SPSS ver. software. The results showed that the tourist guides "often" but not "always" implement the ecotourism principles while on duty. Based on the tourist guide level and the working experience, it is shown that there is a significant difference in implementing the ecotourism principles while on duty. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”. Jakarta, 21 November 2018. 51 PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP EKOWISATA OLEH PRAMUWISATA DKI JAKARTA Lenny Yusrini1, Nova Eviana2 Prodi Usaha Wisata, AKPINDO Jakarta lenny4hcd emanova_jenk Abstract The purpose of this study was to know and analyze the implementation of the ecotourism principles by the DKI Jakarta’s tourist guides. The study is a survey using a questionnaire developed by the underlying theories of five ecotourism principles. In the early stages, theoretical validation was conducted toward 20 respondents. Validity and reliability test results showed all items are valid. Data was collected using simple random sampling technique involving 71 respondents. The measurement of the implementation used mean score and the result was then described. Two categories of the respondent criteria, the tourist guide level and the working experience were also analyzed using non parametric analysis Mann Whitney dan Kruskal Wallis with SPSS ver. software. The results showed that the tourist guides “often” but not “always” implement the ecotourism principles while on duty. Based on the tourist guide level and the working experience, it is shown that there is a significant difference in implementing the ecotourism principles while on duty. Keywords ecotourism, ecotourism principles, tourist guide Pendahuluan Latar Belakang Pariwisata berkelanjutan merupakan sebuah proses dan sistem pembangunan pariwisata yang mampu menjamin keberlangsungan atau keberadaan sumber daya alam, kehidupan sosial budaya, dan ekonomi sehingga sumber daya wisata tetap dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Dengan kata lain, pariwisata berkelanjutan mampu memberikan manfaat jangka panjang kepada perekonomian lokal tanpa merusak lingkungan. Dengan demikian pembangunan dan pengembangan bidang pariwisata mampu menjaga kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Singkatnya, pembangunan yang dilakukan merupakan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan sustainable tourism. Salah satu bentuk pengelolaan pariwisata berkelanjutan adalah ekowisata. Pergeseran konsep pengelolaan kepariwisataan dari wisata massal mass tourism ke ekowisata menjadi peluang bagi meningkatnya perjalanan wisata ke daya tarik wisata alam. Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar di dunia dan memiliki suku bangsa dengan ragam budaya yang sangat besar memiliki potensi pariwisata alam dan budaya yang harus dipertahankan. Kekayaan alam dan budaya ini harus terus terjaga kelestariannya sehingga pengelolaan pariwisata dengan konsep ekowisata sangat sesuai diterapkan di Indonesia. Pengelolaan pariwisata berkonsep ekowisata dapat menjadi jawaban untuk pelestarian sumber daya alam dan budaya yang menjadi modal dasar Indonesia sebagai salah satu destinasi wisata dunia sekaligus memberikan pendidikan alam dan lingkungan bagi wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata alam dan budaya. Menurut United Nations World Tourism Organisation UNWTO, 2012, pariwisata berkelanjutan merupakan pariwisata yang memperhitungkan secara penuh dampak ekonomi, sosial dan lingkungan sekarang dan yang akan datang, menjawab kebutuhan pengunjung, industri pariwisata, lingkungan dan komunitas tuan rumah. Pariwisata berkelanjutan merupakan sebuah proses dan sistem pembangunan pariwisata yang mampu menjamin keberlangsungan atau keberadaan sumber daya alam, kehidupan sosial budaya dan ekonomi sehingga tetap mampu dinikmati oleh generasi yang akan datang. Dengan kata lain, pariwisata berkelanjutan mampu memberikan manfaat jangka panjang kepada perekonomian lokal tanpa merusak lingkungan. Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”. Jakarta, 21 November 2018. 53 Prinsip-prinsip keberlanjutan mengacu kepada keseimbangan dan penjaminan keberlanjutan antar dimensi lingkungan, ekonomi dan sosio-budaya dalam pembangunan kepariwisataan. Untuk itu pariwisata berkelanjutan hendaknya 1. Memanfaatkan sumber daya lingkungan yang menjadi elemen kunci dalam pembangunan kepariwisataan secara optimal, menjaga proses ekologi penting dan membantu mengkonservasikan pusaka alam dan keanekaragaman hayati; 2. Menghormati keotentikan sosio-budaya dan komunitas tuan rumah, melestarikan pusaka buatan dan kehidupan budaya masa kini, nilai nilai tradisional, dan berkontribusi terhadap pemahaman antar budaya dan toleransi; 3. Memastikan berlangsungnya operasi jangka panjang, yang memberikan manfaat sosio-ekonomi kepada semua pemangku kepentingan yang terdistribusi secara berkeadilan. Di sisi lain, pariwisata berkelanjutan juga harus menjaga tingkat kepuasan wisatawan yang tinggi dan menjamin pengalaman yang penuh makna bagi wisatawan. Salah satu mekanisme dari pariwisata berkelanjutan adalah ekowisata. Ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh The Ecotourism Society TIES sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan untuk mengkonservasi lingkungan serta menyejahterakan masyarakat Latupapua, 2011. TIES mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan bertanggung jawab untuk menikmati keindahan alam dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Soetopo 2007 menjelaskan bahwa kegiatan ekowisata mengarahkan wisatawan untuk menghargai dan mencintai kekayaan alam dan budaya masyarakat lokal. Oleh karena itu, kegiatan ekowisata mampu menumbuhkan kesadaran dan kecintaan, serta peran aktif untuk memelihara pelestarian lingkungan, sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Setiap wisatawan tentunya menginginkan informasi tentang potensi daya tarik wisata yang dikunjungi. Salah satu unsur pelaksana pariwisata di lapangan yang berperan penting dalam pemberian informasi dan penjelasan mengenai upaya pelestarian alam dan budaya adalah pramuwisata. Dalam suatu perjalanan wisata, pramuwisata menjadi ujung tombak pelayanan karena berinteraksi secara langsung dengan wisatawan. Informasi yang ada di balik setiap daya tarik wisata alam dan budaya tidak dapat tersampaikan secara lengkap tanpa adanya peran pramuwisata. Untuk menjembatani informasi yang dimiliki oleh daya tarik wisata dengan wisatawan maka dibutuhkan jasa pramuwisata. Di Indonesia, wadah yang menghimpun pramuwisata resmi adalah Himpunan Pramuwisata Indonesia HPI. Struktur HPI terdiri atas Dewan Pimpinan Pusat DPP, Dewan Pimpinan Daerah DPW untuk wilayah tingkat I provinsi, serta Dewan Pimpinan Cabang DPC untuk wilayah tingkat II kota/kabupaten. Dalam konteks ekowisata, peran pramuwisata menjadi penting dalam menyampaikan informasi yang dapat menumbuhkan kecintaan dan apresiasi terhadap daya tarik wisata yang dikunjunginya. Untuk itu timbul kebutuhan tuntutan profesionalisme di bidang kepemanduan ekowisata. Dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 57/MEN/III/2009 tentang Penetapan SKKNI Bidang Kepemanduan Wisata dijelaskan bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pramuwisata di antaranya yaitu mengembangkan materi penafsiran untuk kegiatan ekowisata. Agar mampu memberikan pendidikan dan pengalaman wisata yang selaras dengan prinsip-prinsip ekowisata, maka persepsi pramuwisata terhadap prinsip inti ekowisata menjadi penting untuk diteliti. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata DKI Jakarta? Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”. Jakarta, 21 November 2018. 55 Tinjauan Pustaka Pramuwisata Pramuwisata adalah orang pertama yang diajak bicara oleh wisatawan dan seringkali melihat pemandu wisata sebagai wakil atau representasi dari suatu tempat Cole, 2008. Oleh karena itu pramuwisata sering disebut juga sebagai duta negara ambassador of a country. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan bahwa pramuwisata termasuk dalam jenis-jenis usaha jasa pariwisata. Hal ini menunjukkan bahwa pramuwisata memiliki peran penting dalam pelayanan bagi wisatawan. Pramuwisata adalah seorang yang dipekerjakan untuk menemani wisatawan dan memberikan informasi tentang obyek atau tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi di wilayah NKRI Jumail, 2017. Menurut World Federation of Tour Guide Association WFTGA, 2003, pramuwisata adalah seseorang yang memiliki kualifikasi sesuai dengan area lisensinya berada, untuk memandu pengunjung dalam bahasa pilihannya dan menginterpretasikan peninggalan budaya dan alam di suatu daerah. WFTGA dalam hal ini menyatakan bahwa area kekuasaan pramuwisata harus sesuai dengan lisensi yang dimilikinya. Stanton dalam Jumail 2017 juga menegaskan mengenai lisensi ini dengan menyatakan bahwa pramuwisata harus memiliki lisensi. Selain itu disebutkan juga bahwa pramuwisata harus mampu memahami keinginan wisatawan, mengetahui rute-rute wisata, dan tidak hanya memberi informasi tetapi harus mampu menghibur wisatawan. Setiap pramuwisata resmi wajib memiliki lisensi yang dapat diperoleh dengan mengikuti Program Pendidikan dan Pelatihan Diklat Profesi Bidang Kepariwisataan yang dilaksanakan setiap tahun oleh dinas pariwisata di setiap provinsi di wilayah Indonesia. Untuk Provinsi DKI Jakarta, diklat diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta melalui Unit Pelaksana Teknis UPT Pusat Pelatihan dan Sertifikasi Kepariwisataan PPSK yang telah mendapat standar pelayanan mutu ISO 99012008. Program Diklat Pramuwisata terbagi atas beberapa tahapan jenjang atau tingkatan. Peserta Diklat yang lulus berhak memegang Sertifikat dan Lisensi Pramuwisata berdasarkan jenjang atau tingkatan sesuai dengan program Diklat yang telah diikutinya Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor yaitu 1. Pramuwisata Muda / Junior Guide Bagde. Merupakan pramuwisata yang bertugas di Daerah Tingkat II dalam wilayah Daerah Tingkat I tempat sertifikat keahliannya diberikan. 2. Pramuwisata Madya / Senior Guide Bagde. Pramuwisata madya bertugas dalam wilayah Daerah Tingkat I, tempat sertifikat keahliannya dikeluarkan. Seorang pramuwisata muda atau pemula dapat menjadi pramuwisata madya setelah selama lima tahun aktif menjadi pramuwisata. 3. Pengatur Wisata / Tour leader Bagde. Tugas pramuwisata sesuai Kepmenparpostel Nomor adalah 1. Mengantar wisatawan baik rombongan maupun perorangan yang mengadakan perjalanan dengan transportasi yang tersedia. 2. Memberikan penjelasan tentang rencana perjalanan dan obyek wisata, serta memberikan penjelasan mengenai dokumen perjalanan, akomodasi, transportasi dan fasilitas wisatawan lainnya. 3. Memberikan petunjuk tentang obyek wisata. 4. Membantu menguruskan barang bawaan wisatawan. 5. Memberikan pertolongan kepada wisatawan yang sakit, kecelakaan, kehilangan atau musibah lainnya. Huang et al. 2010 mengatakan bahwa performa pramuwisata merupakan salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi kepuasan wisatawan. Terdapat tiga faktor yang membentuk performa pramuwisata, yaitu 1 penyampaian layanan, 2 orientasi wisatawan, dan 3 efektivitas komunikasi. Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”. Jakarta, 21 November 2018. 57 Ekowisata Di Indonesia, ekowisata mulai menjadi perhatian mulai tahun 2002 yang ditandai dengan penetapan tahun 2002 sebagai tahun ekowisata dan pegunungan di Indonesia. Ekowisata, yang merupakan pengembangan dari pariwisata dan pariwisata berkelanjutan merupakan konsep pengembangan pariwisata yang berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan alam dan budaya dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah setempat Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata Di Daerah menyebutkan bahwa Ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal. Choy dalam Asmara dan Suhirman 2012 menjelaskan bahwa ekowisata diberi batasan sebagai bentuk dan kegiatan wisata yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal serta bagi kelestarian sumberdaya alam dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Terdapat 5 aspek utama untuk berkembangnya ekowisata, yaitu 1 adanya keaslian lingkungan alam dan budaya, 2 keberadaan dan daya dukung masyarakat 3 pendidikan dan pengalaman, 4 berkelanjutan, dan 5 kemampuan, manajemen dalam pengelolaan ekowisata. Kegiatan ekowisata secara langsung maupun tidak langsung mengarahkan wisatawan untuk menghargai dan mencintai alam serta budaya lokal sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dan kepedulian wisatawan untuk turut memelihara pelestarian alam. Fennel dalam Pamungkas 2013 menyatakan bahwa ekowisata merupakan wisata berbasis alam yang berkelanjutan dengan fokus pengalaman dan pendidikan tentang alam, dikelola dengan sistem pengelolaan tertentu dan memberi dampak negatif paling rendah pada lingkungan, tidak bersifat konsumtif dan berorientasi lokal, berlokasi di wisata alam dan berkontribusi pada konservasi atau preservasi lokal. Choy dalam Asmara dan Suhirman 2012 menjelaskan bahwa ekowisata diberi batasan sebagai bentuk dan kegiatan wisata yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal serta bagi kelestarian sumberdaya alam dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Kegiatan ekowisata secara langsung maupun tidak langsung diharapkan akan mengarahkan wisatawan untuk menghargai dan mencintai alam, budaya lokal, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dan kepedulian wisatawan untuk turut memelihara pelestarian alam. Selain bertumpu pada konservasi alam dan budaya lokal, kegiatan ekowisata harus mampu memberikan manfaat secara perekonomian bagi masyarakat lokal. Terdapat 5 aspek utama untuk berkembangnya ekowisata, yaitu 1 adanya keaslian lingkungan alam dan budaya, 2 keberadaan dan daya dukung masyarakat 3 pendidikan dan pengalaman, 4 berkelanjutan, dan 5 kemampuan, manajemen dalam pengelolaan ekowisata. Page dan Dowling 2002 menjelaskan konsep dasar ekowisata ke dalam 5 prinsip inti ekowisata sebagai berikut 1. Nature based produk dan pasar yang berdasar pada alam. Pariwisata alam yang berdasar pada lingkungan alam dengan fokus pada obyek-obyek biologis, fisik, dan budaya. Wisata alam merupakan bagian atau keseluruhan alam itu sendiri termasuk unsur-unsur budayanya. 2. Ecologically suistainable pelaksanaan dan manajemen berkelanjutan. Dari kegiatan wisata diharapkan tidak terjadi kerusakan bagi alam atau lingkungan. Berkelanjutan secara ekologi berarti semua fungsi lingkungan baik biologi, fisik maupun sosial masih tetap berjalan dnegan baik. Suatu temapt yang sudah didatangi manusia tidak mungkin untuk tidak berubah, namun perubahan-perubahan itu harus dapat dijamin tidak mengganggu fungsi-fungsi ekologis yang seharusnya terjadi. Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”. Jakarta, 21 November 2018. 59 3. Environmentally educative pendidikan lingkungan bagi pengelola dan pengunjung. Karakteristik pendidikan lingkungan merupakan unsur kunci yang membedakan ekowisata dari bentuk wisata lain. Lebih lanjut wisata diharapkan dapat mengajak wisatawan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang positif terhadap lingkungan dengan cara meningkatkan usaha wisatawan untuk lebih peduli terhadap konservasi atau pelestarian lingkungan. Pendidikan lingkungan dalam kegiatan wisata dapat mempengaruhi perilaku wisatawan sekaligus membantu kelestarian di tempat wisata tersebut. 4. Locally beneficial bermanfaat untuk masyarakat lokal. Kegiatan pariwisata diharapkan dapat memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada masyarakat lokal. Misalnya masyarakat terlibat dalam kegiatan pelayanan terhadap wisatawan, penjualan barang-barang kebutuhan wisatawan, penyewaan sarana prasarana wisata, dll. Manfaat tidak langsung misalnya pengetahuan yang dibawa oleh wisatawan, bertambahnya wawasan dan hubungan dengan wisatawan, biaya konservasi kawasan dan sebagainya. Selain itu pelibatan masyarakat lokal akan meningkatkan pengalaman wisatawan terhadap budaya kebiasaan dan adat masyarakat lokal. Keuntungan yang didapat oleh masyarakat lokal dapat juga digunakan sebagai biaya konservasi sehingga kelestarian kawasan dapat tetap terjaga. 5. Generates tourist satisfaction memberikan kepuasan bagi wisatawan. Wisatawan akan merasa puas jika segala hal yang dibutuhkan selama kegiatan wisata dapat terpenuhi dengan baik dan memperoleh pengalaman berwisata secara optimal. Tujuan ekowisata dapat dicapai melalui penggunaan interpretasi dalam kepemanduan wisata. Interpretasi merupakan suatu pendekatan untuk mengkomunikasikan pesan terutama di kawasan konservasi alam dan lingkungan, seperti di taman nasional, hutan lindung, museum, kebun binatang dan kebun raya Ham, 1992. Interpretasi tidak hanya menyediakan informasi, tetapi juga mengembangkan pemahaman dan apresiasi terhadap sumber daya alam dan lingkungan serta membantu mengelola dampak dari wisatawan terhadap sumber daya tersebut Eagles, McCool, & Haynes, 2002. Interpretasi terhadap lingkungan dan alam budaya lokal, dan warisan budaya serta penjelasan mengenai perilaku yang sesuai saat berkunjung harus disampaikan kepada wisatawan. Berbagai penelitian terkini menyebutkan bahwa pramuwisata memiliki peran yang lebih dalam ekowisata dan wisata alam, antara lain dalam interpretasi kawasan, serta memotivasi wisatawan untuk mengubah perilakunya agar dapat meminimalisir dampak negatif pada daya tarik wisata. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia SKKNI Bidang Kepemanduan Wisata Undang-Undang Kepariwisataan No 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan menjelaskan bahwa kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pekerja pariwisata, pelayanan, dan pengelolaan kepariwisataan. Pengetahuan knowledge adalah hasil penginderaaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya. Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sampai dengan menghasilkan pengetahuan dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap obyek. Pengetahuan dipengaruhi oleh 1 tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan lebih mudah menerima dan menyerap hal-hal baru; 2 usia, semakin cukup usia seseorang akan semakin matang dan dewasa dalam berpikir dan bekerja; 3 pengalaman, dapat dijadikan sumber pengetahuan dan dasar untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Keterampilan skill merupakan aplikasi dari pengetahuan sehingga tingkat keterampilan seseorang berkaitan dengan tingkat pengetahuan Notoatmodjo, 2012. Perilaku/sikap attitude adalah tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan obyek psikologi. Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”. Jakarta, 21 November 2018. 61 PENGGOLONGAN BERDASARKAN SKKNI PENGGOLONGAN BERDASARKAN HIMPUNAN PRAMUWISATA INDONESIA HPI Pelatihan & Lisensi Pramuwisata Muda Pelatihan & Lisensi Pramuwisata Madya Pelatihan & Lisensi Tour Leader Sikap juga diartikan sebagai suatu konstruk untuk memungkinkan terlihatnya suatu aktifitas Mar’ad, 2001. Untuk memperoleh pramuwisata yang berkualitas maka pemenuhan kompetensi pramuwisata harus dilakukan. Agar kompetensi pramuwisata di seluruh Indonesia terjaga kualitasnya maka acuan kompetensi mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia SKKNI bidang kepemanduan wisata. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pramuwisata juga dituntut memiliki kompetensi yang terkait dengan prinsip-prinsip ekowisata. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 57/MEN/III/2009 tentang Penetapan SKKNI Bidang Kepemanduan Wisata, di dalam unit kompetensi fungsional pemandu wisata terdapat unit kompetensi terkait ekowisata yang harus dimiliki oleh seorang pramuwisata, yaitu melakukan kegiatan yang bersifat interpretasi, mengembangkan materi penafsiran untuk kegiatan ekowisata, meneliti dan membagi informasi umum tentang kebudayaan etnik Indonesia serta menginterprestasikan aspek budaya etnik lokal Indonesia. Gambar 1 Jenjang Pramuwisata Berdasarkan Lisensi dan SKKNI Pada Gambar 1 terlihat bentuk jenjang pramuwisata sesuai dengan lisensi yang dimiliki oleh anggota HPI dan jenjang pramuwisata berdasarkan SKKNI. Lisensi diperoleh oleh pramuwisata setelah mengikuti pelatihan dan ujian sesuai dengan level yang ada agar dapat bertugas di wilayah sesuai lisensinya. Kemudian agar kemampuannya diakui maka pramuwisata tersebut mengikuti uji kompetensi sesuai dengan kualifikasi SKKNI. Metodologi Penelitian Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan merupakan metode deskriptif, yaitu metode penelitian yang dipergunakan untuk memberikan gambaran berdasarkan data-data atau fenomena-fenomena yang ada. Teknik Pengumpulan Data Dalam kegiatan penelitian ini digunakan dua jenis teknik pengumpulan data yaitu angket dan studi kepustakaan. Butir angket dikembangkan berdasarkan 5 prinsip inti ekowisata Page dan Dowling, 2002. Dari setiap indikator selanjutnya akan dikembangkan ke dalam 5 butir pernyataan yang bersifat favorable items. Pilihan jawaban pernyataan disusun ke dalam 5 alternatif jawaban, yang terdiri atas selalu SL dengan bobot 5, sering SR dengan bobot 4, jarang JR dengan bobot 3, kadang-kadang KD dengan bobot 2, dan tidak pernah TP dengan bobot 1. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilaksanakan di Himpunan Pramuwisata Indonesia HPI DPD DKI Jakarta. Penelitian dilaksanakan selama kurun waktu Maret sampai dengan Mei 2018. Populasi & Sampel Dalam penelitian ini, populasi target penelitian adalah seluruh pramuwisata yang terdaftar sebagai anggota HPI DKI Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”. Jakarta, 21 November 2018. 63 Jakarta sampai dengan bulan Juni 2018 berjumlah 132 orang. Sedangkan penetapan sampel menggunakan ketentuan besaran sampel n paling sedikit empat atau lima kali banyaknya variabel Supranto, 2010. Responden penelitian adalah 71 pramuwisata, yang ditetapkan berdasarkan accidental sampling technique. Teknik Analisa Data Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata anggota HPI Jakarta. Data dianalisa dengan menggunakan nilai rata-rata mean untuk mendapatkan hasil penilaian penerapan prinsip ekowisata. Untuk beberapa kriteria profil responden, yaitu jenjang pramuwisata dan masa kerja digunakan juga non parametric analysis Mann Whitney dan Kruskal Wallis, dengan bantuan software SPSS ver. untuk mengetahui apakah ada perbedaan penerapan oleh pramuwisata ditinjau dari jenjang dan masa kerja. Pembahasan Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Draf angket ditelaah secara terbatas kepada 20 orang responden untuk uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas dilakukan untuk menilai kesesuaian butir pernyataan dengan indikator. Pengujian dilakukan dengan menggunakan rumus Pearson Product Moment dengan software SPSS ver Hasil pengujian validitas menunjukkan bahwa seluruh butir dalam angket memiliki nilai koefisien korelasi > Maknanya adalah seluruh butir valid karena mampu mengukur apa yang seharusnya diukur Widoyoko, 2012. Seluruh butir selanjutnya digunakan dalam uji reliabilitas. Hasil uji reliabilitas menunjukkan perolehan nilai α = atau > Dengan demikian angket dinyatakan reliabel, sehingga dapat digunakan dalam pengumpulan data penelitian Widoyoko, 2012. Profil Responden Pada Tabel 1 digambarkan profil responden. Secara umum, berdasarkan jenis kelamin dapat dikatakan jumlah pramuwisata pria dan wanita tidak terlalu berbeda, yaitu 56% pria dan 44% wanita. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa dunia kepemanduan wisata tidak memiliki batasan gender, dan diisi baik oleh pria maupun wanita. Selain itu, perkembangan dunia pariwisata yang semakin global menuntut pramuwisata selalu meningkatkan kapasitas dirinya termasuk dalam hal pendidikan. Saat ini jumlah pramuwisata anggota HPI Jakarta yang memiliki jenjang pendidikan tinggi D3 dan sarjana mendominasi yaitu sebesar yaitu 69%. Bidang kerja pramuwisata semakin diminati dan menjadi pilihan profesi. Hal ini dibuktikan dari kategori usia di mana usia produktif di atas 25 tahun 55 tahun menunjukkan jumlah terbesar yaitu 76%. Sementara sisanya sedikit berada pada kategori usia di bawah 25 tahun 14% dan di atas 55 tahun 10%. Profesi pramuwisata sebagai pilihan bidang kerja juga ditunjukkan melalui data masa kerja, di mana profesi ini telah ditekuni selama > 2 tahun oleh pramuwisata. Tabel 1 Profil Responden Tingkat pendidikan SMA/SMK D3 non pariwisata D3 pariwisata Sarjana Usia 17-25 26-35 36-45 46-55 56-65 Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”. Jakarta, 21 November 2018. 65 Tabel Lanjutan Jenjang lisensi Pramuwisata muda Pramuwisata madya Tour leader Sumber Hasil olah data, 2018 Penerapan Prinsip-Prinsip Ekowisata Oleh Pramuwisata DKI Jakarta Berdasarkan output olah data diperoleh hasil rata-rata mean penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata DKI Jakarta sebesar sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2 berikut Tabel 2 Rata-Rata Penerapan Prinsip Ekowisata penerapan prinsip ekowisata Angka di atas diterjemahkan ke dalam garis interval nilai rata-rata dengan interval frekuensi diperoleh gambaran sebagai berikut Gambar 2 Garis Interval Penerapan Prinsip Ekowisata Dengan nilai rata-rata penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata sebesar maka angka ini berada pada posisi di antara kategori “sering” dan “selalu” tetapi lebih mendekati “sering”. Secara umum dapat dijelaskan bahwa dalam menjalankan tugas pemanduannya pramuwisata DKI Jakarta sering namun tidak selalu menerapkan prinsip-prinsip ekowisata. Hasil ini menunjukkan bahwa belum semua pramuwisata menyadari pentingnya penerapan prinsip ekowisata selama pramuwisata tersebut bertugas. Penelaahan lebih lanjut dilakukan dengan uji beda dengan menggunakan Kruskal Wallis Test berdasarkan tingkat pendidikan pramuwisata, yang terdiri atas SMA/SMK, D3 non pariwisata, D3 pariwisata, dan sarjana. Usman 2011 menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan karyawan maka akan semakin tinggi kinerja yang ditampilkan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian empirik yang dilakukan oleh Wirawan, et al. 2016 yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan pengalaman kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Hipotesis yang diterapkan sebagai berikut Ha Terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan tingkat pendidikan. H0 Tidak terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan tingkat pendidikan. Kriteria pengujian yang digunakan adalah jika nilai signifikansi maka H0 diterima dan Ha ditolak. Berkaitan dengan penerapan prinsip-prinsip ekowisata berdasarkan tingkat pendidikan pramuwisata, pada Tabel 3 diperoleh nilai signifikansi sebesar atau > Tabel 3 Hasil Uji Beda Berdasarkan Tingkat Pendidikan Penerapan prinsip ekowisata b. Grouping Variable tingkat pendidikan Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”. Jakarta, 21 November 2018. 67 Tabel 3 menunjukkan hasil bahwa pada penelitian ini tingkat pendidikan pramuwisata DKI Jakarta tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata. Hal ini dibuktikan dengan hasil nilai signifikansi sebesar atau > Hasil ini tidak mendukung penelitian sebelumnya oleh Wirawan et al. 2016. Selanjutnya dilakukan analisa dengan menghitung nilai rata-rata mean penerapan prinsip ekowisata berdasarkan tingkat pendidikan yang hasilnya ditampilkan pada Tabel 4. Hasil olah data menunjukkan bahwa nilai rata-rata penerapan prinsip ekowisata berdasarkan tingkat pendidikan sebesar Tabel 4 Nilai Rata-Rata Berdasarkan Tingkat Pendidikan penerapan prinsip ekowisata Gambar 3 memperlihatkan nilai rata-rata tersebut ketika diterjemahkan ke dalam garis interval. Posisi penerapan prinsip ekowisata berdasarkan tingkat pendidikan berada pada kategori di antara “sering” dan “selalu”, tetapi lebih mendekati “sering”. Gambar 3 Garis interval nilai rata-rata berdasarkan tingkat pendidikan Telaah penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata DKI Jakarta dilakukan juga berdasarkan jenjang lisensi pramuwisata muda, pramuwisata madya, tour leader, dengan hipotesis sebagai berikut Ha Terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan jenjang lisensi. H0 Tidak terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan jenjang lisensi. Kriteria pengujian yang digunakan adalah jika nilai signifikansi maka H0 diterima dan Ha ditolak. Berkaitan dengan penerapan prinsip-prinsip ekowisata berdasarkan jenjang pramuwisata, pada Tabel 5 diperoleh nilai signifikansi sebesar atau maka H0 diterima dan Ha ditolak. Dilihat dari jumlah pramuwisata berdasarkan masa kerja, jumlah terbanyak ada pada kategori pramuwisata dengan masa kerja lebih dari 2 tahun. Perbandingan antar kelompok pramuwisata berdasarkan masa kerja menunjukkan adanya perbedaan dalam menerapkan prinsip-prinsip ekowisata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar atau 2 tahun memiliki nilai rata-rata sebesar sementara pramuwisata dengan masa kerja ≤ 2 tahun lebih rendah yaitu Tabel 8 Nilai Rata-Rata Berdasarkan Masa Kerja Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”. Jakarta, 21 November 2018. 71 Hasil di atas jika diterjemahkan ke dalam garis interval menunjukkan posisi penerapan prinsip ekowisata berdasarkan masa kerja sebagai berikut Gambar 5 Garis Interval Nilai Rata-Rata Berdasarkan Masa Kerja Pramuwisata dengan masa kerja >2 tahun menunjukkan nilai rata-rata yang lebih tinggi lebih menjauhi “sering” daripada pramuwisata dengan masa kerja ≤2 tahun. Artinya pramuwisata dengan masa kerja >2 tahun lebih sering menerapkan prinsip-prinsip ekowisata selama ia bertugas. Hasil tersebut didukung penelitian Kong 2012 yang menjelaskan bahwa pramuwisata yang memiliki masa kerja lebih dari dua tahun memperoleh informasi lebih banyak mengenai perlindungan lingkungan dibandingkan pramuwisata yang masih baru. Ketika pramuwisata mendapatkan sertifikat kompetensi, mereka telah dibekali dengan beberapa unit kompetensi yang erat kaitannya dengan ekowisata, antara lain unit kompetensi Mengembangkan Materi Penafsiran untuk Kegiatan Ekowisata dan Melakukan Kegiatan yang bersifat Interpretasi. Oleh karena itu, setelah mengikuti pelatihan dan sertifikasi kompetensi, pramuwisata mengetahui bahwa merupakan tugasnya untuk menyampaikan dan memberi contoh perilaku yang sesuai dengan prinsip-prinsip ekowisata. Tetapi dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa belum semua pramuwisata menerapkan prinsip-prinsip ekowisata selama bertugas sering, tetapi tidak selalu. Temuan penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kong 2012 yang meneliti pramuwisata di Cina. Ditemukan bahwa walaupun pramuwisata menyadari bahwa informasi yang disampaikan dapat mengubah persepsi dan perilaku wisatawan terhadap lingkungan, tidak semua pramuwisata menyadari sepenuhnya bahwa memberikan pendidikan lingkungan bagi wisatawan merupakan salah satu tugas mereka. Untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan interpretasi ekowisata maka penting bagi pramuwisata untuk meningkatkan kompetensinya di bidang kepemanduan wisata dengan mengikuti pelatihan terkait ekowisata. Black dan Ham 2005 mengatakan bahwa dalam kegiatan pelatihan tersebut perlu ditekankan tiga peran kunci seorang pramuwisata terkait dengan perilaku sesuai prinsip ekowisata, yaitu 1 sebagai seorang pemberi informasi khusus, 2 sebagai interpreter, dan 3 sebagai motivator untuk nilai-nilai konservasi dan penerapan perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Beberapa penelitian menemukan bahwa peran pramuwisata utamanya adalah sebagai interpreter, terutama di lokasi dimana perilaku wisatawan yang tidak sesuai dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan Yamada, 2011. Seperti yang disarankan oleh Christie dan Mason 2003, pelatihan terhadap pramuwisata seharusnya tidak hanya meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan pramuwisata tetapi juga memfasilitasi perubahan pada perilaku atas aktivitas lingkungan yang bertanggung jawab. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara 1 menyelenggarakan kunjungan bagi pramuwisata ke taman wisata alam, mengundang pakar untuk memperkenalkan pengetahuan bidang ekowisata, serta menyelenggarakan lokakarya dan seminar yang memungkinkan pramuwisata senior untuk berbagi pengalaman dan informasi mengenai kepemanduan berbasis alam dan lingkungan. Diharapkan melalui kegiatan-kegiatan ini pramuwisata dapat meningkatkan ketrampilan interpretasi dan komunikasi terkait wisata alam dan ekowisata. Pramuwisata senior dapat memotivasi pramuwisata lainnya untuk berkontribusi terhadap pariwisata berkelanjutan. 2 memberikan insentif terhadap pramuwisata yang memiliki performa di atas standar yang ada. Untuk itu, diperlukan penetapan terhadap standar pengukuran perilaku dan interpretasi pramuwisata. 3 menyelenggarakan kompetisi bagi pramuwisata di bidang kepemanduan yang berwawasan lingkungan Kong, 2012. Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”. Jakarta, 21 November 2018. 73 Penelitian yang dilakukan oleh Higham dan Carr 2003 menunjukkan bahwa wisatawan mengapresiasi interpretasi yang diberikan oleh pramuwisata dalam rangka meningkatkan kesadaran terhadap isu-isu lingkungan dan menurunkan dampak negatif perilaku wisatawan terhadap lingkungan. Wisatawan juga percaya bahwa kehadiran pramuwisata membantu meminimalisasi perilaku wisatawan yang kurang sesuai saat berada di daya tarik wisata. Hal ini menunjukkan bahwa penting bagi pramuwisata untuk menyadari bahwa peran mereka dalam menyampaikan interpretasi dapat mempengaruhi kepuasan wisatawan. Penelitian lain yang mendukung adanya keterkaitan antara kemampuan interpretasi pramuwisata dengan kepuasan wisatawan juga diperoleh dari Hiwasaki 2006. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa ketidakpuasan wisatawan salah satunya dipengaruhi oleh minimnya pengetahuan pramuwisata tentang budaya lokal dan wawasan lingkungan. Penutup Simpulan dan Saran Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum penerapan prinsip-prinsip ekowisata sering dilakukan oleh pramuwisata DKI Jakarta dalam menjalankan tugas pemanduannya, namun belum pada tahapan selalu menerapkan. Ditemukan juga bahwa tidak ada perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh pramuwisata berdasarkan tingkat pendidikannya. Sementara perbedaan muncul pada jenjang lisensi dan masa kerja. Semakin tinggi jenjang lisensi pramuwisata, dan semakin lama masa kerjanya, maka pramuwisata semakin sering menerapkan prinsip-prinsip ekowisata selama bertugas memandu wisatawan. Mengingat beberapa unit kompetensi fungsional pramuwisata terkait dengan ekowisata, maka seharusnya prinsip-prinsip ekowisata harus selalu diterapkan dalam setiap tugas pemanduan pramuwisata DKI Jakarta. Untuk itu, perlu diberikan pembekalan tambahan sehingga pramuwisata menyadari bahwa merupakan kewajibannya untuk selalu menerapkan prinsip-prinsip ekowisata selama bertugas. Pembekalan tambahan ini juga diharapkan dapat membuat kemampuan pramuwisata terkait ekowisata lebih meningkat. Selain itu, perlu dipertimbangkan pemberian insentif dan apresiasi terhadap pramuwisata yang selalu menerapkan prinsip-prinsip ekowisata selama bertugas. Daftar Pustaka Buku dan Jurnal Asmara, Y. & Suhirman. 2012. Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Kegiatan Ekowisata Kampung Cikidang Desa Langensari Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. A SAPPK V V1N2. Black, R. and Ham, S. 2005. Improving the quality of tour guiding towards a model for tour guide certification. Journal of Ecotourism, 43, 178-195, DOI London. Christie, and Mason, 2003. Transformative tour guiding Training tour guided to be critically reflective practitioners. Journal of Ecotourism, 2 1, 1-16. Cole, Stroma. 2008. Tourism, Culture and Development Hopes, Dreams and Realities in East Indonesia. Clevedon Cromwell Press. Eagles, P. F. J., McCool, and Haynes, 2002. Sustainable Tourism in Protected Areas-Guidelines for Planning and Management. Gland, Switzerland IUCN. Ham, S. H. 1992. Environmental Interpretations A Practical Guide for People With Big Ideas and Small Budget. Golden, CO North American Press. Higham. J. E. S., & Carr, A. M. 2003. Sustainable Wildlife Tourism in New Zealand An Analysis of Visitor Experiences. Human Dimensions of Wildlife, 8, 25-36. Huang, S., Hsu, C. H. C., & Chan, A. 2010. Tour Guide Performance and Tourist Satisfaction A Study of Package Tours in Shanghai. Journal of Hospitality and Tourism Research, 273, 291-309. Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. “Pemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesia”. Jakarta, 21 November 2018. 75 Husaini, Usman. 2011. Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan. Jakarta Bumi Aksara. Jumail, Mohamad. 2017. Teknik Pemanduan Wisata. Yogyakarta Penerbit Andi. Latupapua, Yosefita. 2011. Persepsi Masyarakat Terhadap Potensi Obyek Daya tarik Wisata Pantai di Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 2 Juni 2011. Mar’ad. 2001. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Bandung Ghalia Indonesia. Notoatmodjo, S. 2012. Metode Penelitian Kesehatan, edisi revisi, Rineke Cipta. Jakarta Kong, Haiyan. 2012. Are Tour Guides in China Ready for Ecotourism? An Importance–Performance Analysis of Perceptions and Performances. Asia Pacific Journal of Tourism Research, 2014 Vol. 19, No. 1, 17–34, Page, S. J., & Dowling, R. K. 2002. Ecotourism. Harlow, England Prentice Hall, Pearson Education. Pamungkas, Gilang. 2013. Ekowisata Belum Milik Bersama Kapasitas Jejaring Stakeholder dalam Pengelolaan Ekowisata Studi Kasus Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 24 No. 1, April 2013. Putra, I Wayan Indra., Suwendra, I Wayan., Bagia, I Wayan. 2016. Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Disilpin Kerja terhadap Kinerja Karyawan. E-Journal Bisma Universitas Pendidikan Ganesha, Jurusan Manajemen Volume 4 Tahun 2016. Soetopo, Toni. 2007. Provinsi Nusa Tenggara Barat NTB Menghadapi Visit Indonesia Year 2008. Jurnal Komunika Majalah Ilmiah Komunikasi Dalam Pembangunan ISSN 0126-2491 Volume 10 Nomor 2 Tahun 2007. Supranto, J. 2010. Statistik Teori dan Aplikasi. Jakarta UI Press. Widoyoko. 2012. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta ID Pustaka Pelajar. Wirawan, Ketut Edy., Bagia, I Wayan., Susila, Gede Putu Agus Jana. 2016. Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Kerja terhadap Kinerja Karyawan. E-Journal Bisma Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Manajemen. Volume 4 Tahun 2016 1. Yamada, Naoko 2011. Why Tour Guiding Is Important for Ecotourism Enhancing Guiding Quality With The Ecotourism Promotion Policy in Japan. Asia Pacific Journal of Tourism Research Vol. 16, No. 2, April 2011. Undang-Undang dan Peraturan Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 57/MEN/III/2009 Tentang Penetapan SKKNI Bidang Kepemanduan Wisata Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata SKKNI Fungsional BPW. Kementerian Pariwisata RI. UNWTO. 2012 Definition of Sustainable Tourism. Source diakses 17 Juli 2018. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. WFTGA. 2003. 10th International Convention Dunblane, United Kingdom. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Haiyan KongThis study aims to examine tour guides' perceptions about and behavior toward ecotourism. The target respondents were tour guides working in the front line of the tourism industry. A total of 350 data sets were collected in China. An importance–performance analysis was applied to examine the tour guides' perceived importance and performance simultaneously. The findings indicate that although the tour guides have realized the importance of ecological protection, they fail to perform well in educating tourists on the paradigm of ecotourism. Thus, the results may provide useful guidance for tourism management. This study concludes with a discussion of limitations and suggestions for future research. Naoko YamadaThe Ecotourism Promotion Policy in Japan requires tour guiding to be employed, although it provides little rationale for it. This paper reviews the literature to illustrate why tour guiding is important for achieving policy and ecotourism goals in order to support this requirement. An overview of ecotourism policy in Japan is provided, contributions of tour guiding to achieving the policy and ecotourism goals are described, and approaches to strengthening current practices along with the policy are discussed. It is suggested that non-profit organizations offer training to impart knowledge about guiding roles and interpretation at a national level and that ecotourism promotion councils teach knowledge about ecotour products and tourists at a regional certification is one mechanism used to assist in maintaining and improving professional or technical competence in numerous professions. It can potentially be used to assist in improving tour guide performance and raising and maintaining guiding standards. The aim of this research was to critically analyse the development of the Australian EcoGuide Program as a basis for building a model for tour guide certification as one mechanism of improving the quality of tour guiding. This was achieved through a review of the relevant literature, and by analysing the content, process, and elements of the EcoGuide Program, and selected industry stakeholders' views of the Program. A mixed methods approach was adopted and five data collection methods were used a telephone survey, in-depth interviews, focus group interviews, on-site questionnaires and secondary data analysis. Data were collected from six research populations nature/ecotour guides, nature-based tour operators, members of the EcoGuide Steering Committee, EcoGuide assessors, the Department of Industry, Science and Resources and Australian protected area managers. The results were triangulated to build an understanding of the content, elements, development process and stakeholders' views of the EcoGuide Program. The findings of this analysis are presented in a general model for tour guide is an indispensable tool for achieving the goals of ecotourism Weiler & Ham, 2001. Tour guiding is an educational activity that is part of the process of interpretation Knudson et al., 1995; Pond, 1993. In the past, tour guides were usually untrained, but guide training is now common in most developed countries McArthur, 1996. Tour guide training is an adult education activity, but much training is competency-based with an emphasis on knowledge transmission and skill acquisition. This article suggests that good training should lead to change, not only in terms of knowledge and skills, but also in attitudes and behaviour. It argues that good guide training should alter how guides think and act, and suggests that if trainee guides learn how to critique their own knowledge, attitudes and behaviour, they will be able to offer their clients tourists something more than a superficial introduction to a new environment, country or culture. Current guide-training practices in selected countries are reviewed and discussed. A case study of tour guide training in Kakadu National Park, Australia is presented and used as the basis for a proposed model of training, termed 'transformative tour guiding', which could improve the quality of ecotour guiding, as well as help sustain tourism is now the world's number one industry, and protected areas are the focus of an increasing proportion of it. It is imperative to manage tourist pressures so that visitors can appreciate protected areas without damaging what they come to study examines tour guide performance and its relationship with tourist satisfaction in the context of package tours in Shanghai. A multilayer framework of tourist satisfac-tion in the package tour context is proposed. Tourist satisfaction was conceptualized to include three aspects/layers satisfaction with guiding service, satisfaction with tour services, and satisfaction with the overall tour experience. Tour guide performance was found to have a significant direct effect on tourist satisfaction with guiding service and an indirect effect on satisfaction with tour services and with tour experience. Satisfaction with guiding service positively affected satisfaction with tour services but showed no direct effect on satisfaction with the overall tour experience. However, indirect effect of satisfaction with guiding service on satisfaction with tour experience mediated by satis-faction with tour services was significant. Implications for tour operators and govern-ment agencies are discussed. KEYWORDS tour guide performance; tourist satisfaction; tour operator; tour expe-rience; service quality Tour guides are frontline employees in the tourism industry who play an important role in shaping tourists' experience in a destination. Tour-guiding service is the core component of various tour services offered by tour operators. Whether tour guides can deliver quality service to tourists is not only essential to the business success of the tour operators they are affiliated with but also critical to the overall image of the destination they represent. In China, tourism authorities at different levels attach great importance to the industry practice regarding tour-guiding service. In 1989, the China National Tourism Administration CNTA launched the National Tour Guide Qualification Stroma ColeCan tourism help a poor remote community to develop? How much does tourism change a village? How can a village have the benefits tourism offers without the problems it can cause? These are the questions that lie at the core of this text. Using an anthropologist's eye and a high degree of trust, this book uncovers the story of tourism development in two small villages on a remote island of Eastern ethnography provides a rich description of life in a non-western marginal community in a contemporary global context and how they face the challenge of balancing socio-economic integration and cultural distinction. It uncovers the conflicts of tourism development between a poor community, tourists, governments and brokers. This micro study has ramifications beyond the locality. Many other villages in Indonesia are experiencing similar issues. Many of the challenges are relevant to peripheral communities across the globe. Themes in this book will resonate with studies of tourism, tourists, development, globalisation and cultural change from around the Higham Senior Lecturer Anna CarrVisitors to wildlife tourism attractions can provide valuable insights into the sustainability of the businesses that they visit. Qualitative data collection employing participant observations and visitor interviews was conducted at 12 ecotourism operations that offer wildlife tourism experiences in New Zealand. The objective was to develop insights into the visitor experience and to understand the viewpoints of visitors regarding the sustainability of those experiences. Although other dimensions of the wildlife tourism experience exist, important social and ecological dimensions of the visitor experience emerged from this research. Four prominent themes, which were identified within these dimensions, are presented and discussed. The results provide insights into sustainable wildlife tourism development in New Zealand, with implications for the design of interpretation programs, visitor management, and the delivery of several defining aspects of sustainable wildlife tourism experiences.
13 Jenis Pengembangan. 1.3.1 Pengembangan secara informal. 1.3.2 Pengembangan secara formal. 1.4 Contoh Pengembangan. 1.4.1 Pengembangan Bisnis. 1.4.2 Pengembangan Produk Baru (New Development Product) 1.4.3 Pengembangan Profesional. 1.4.4 Pengembangan Pribadi atau Pengembangan Personal. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. ABSTRAKBerdasarkan regulasi, pembangunan industri pariwisata bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomia Indonesia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menyediakan lapangan pekerjaan. Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti dilakukan yaitu untuk menjelaskan strategi pengembangan idnustri pariwisata di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian studi kepustakaan yang mengacu pada pustaka-pustaka sebelumnya mengenai pengembangan idnustri pariwisata di Indonesia. Industri pariwisata di Indonesia perlu dilakukan pengembangan dikarenakan jumlah kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara masih rendah bila dibandingkan dengan industri pariwisata di negara lain. Peneliti membahas mengenai strategi pengembangan industri pariwisata dengan mengacu kepada peluang, kekuatan, kekurangan dan tantangan pada industri pariwisata di Indonesia. Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh gambaran mengenai strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan industri pariwisata di kunci Strategi, pengembangan, pariwisataPENDAHULUANPengembangan pembangunan infrastruktur saat ini telah dilakukan dengan intensif oleh pemerintah. Menurut sekretariat Kabinet RI tahun 2017, pembangunan infraastruktur di Indonesia dikatakan masih begitu tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. Tujuan dari pembangunan Industru tersebut yaitu untuk merespon perubahan yang terjadi pada dunia industru secara keseluruhan. Salah satu industri yang mengalami perubahan yang terjadi pada dunia industri yaitu industri pariwisata. Saat iniindustri pariwisata menjadi salah satu sektor yang dipandang sangat menguntungkan dikarenakan masih banyak potensi wisata yang dapat dikembangkan Mariyono 2017, Cholik 2017. Penerimaan pendapatan daerah menjadi salah satu potensi yang dapat ditingkatkan Incera et al. 2015. Perkembangan pariwisata di Indonesia tidak terlepas dari pengembangan pasriwisata di daerah Oktavia 2017; Sutanto 2016. Dengan demikian, strategi dalam pengembangan pariwisata perlu dilakukan untuk lebih mengembangkan pariwisata di penelitian yang digunakan oleh penulis yaitu metode penelitian kepustakaan library research. Penelitian dilakukan dengan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan pengumpulan data dari pustaka. Abdul Rahman Sholeh menyatakan, penelitian kepustakaan library research merupakan penelitian yang dilakukan dengan menggunakan cara untuk mendapatkan data informasi dengan menempatkan fasilitas yang ada di perpustakaan seperti majalah, buku, dokumen, skripsi, jurnal, dan catatan kisah-kisah sejarah atau penelitian kepustakaan murni yang berkaitan dengan objek penelitian. HASIL DAN PEMBAHASANAnalisis Strategi Pengembangan Industri PariwisataBerdasarkan hasil kepustakaan yang dilakukan peneliti maka peneliti melakukan analisi terhadap strategi yang dilakukan untuk mengembangkan industri pariwisata di Indonesia. Analisis dilakukan dengan mengetahui peluang, kekuatan, kekurangan dan tantangan pada industri pariwisata di Indonesia. Analisis strategi pengembangan industri pariwisata di Indonesia yaituPeluang industri pariwisata IndonesiaPeluang industri pariwisata di Indonesia yaitu sebagai berikutKawasan wisata yang masih asriWisata yang sangat beragam, mulai dari wisata darat, wisata air, wisata sejarah, dan masih banyak lagiTempat penginapan yang banyak di sekitar kawasan wisataBanyak pusat perbelanjaan di sekitar kawasan wisataBanyak wisatawan yang tertarik terhadap wisata dan budaya IndonesiaPenyegaran kawasan wisata oleh pemerintah setempatBerbag wisata kuliner yang berada di sekitar kawasan industri pariwisata IndonesiaKekuatan industri pariwisata di Indonesia yaitu sebagai berikutDestinasi wisata yang mengandalkan sumber daya alam di IndonesiaKawasan-kawasan wisata legendaris di IndonesiaMasyarakat yang berada di sekitar kawasan wisata sangat ramahBanyak kawasan perdagangan di areal kawasan industri pariwisata IndonesiaKekurangan industri pariwisata di Indonesia yaitu sebagai berikutSarana transportasi umum yang masih sulit untuk menuju tempat wisataKondisi jalan areal wisata yang buruk sehingga sulit untuk dijangkau oleh wisatawanPartisipasi generasi muda yang masih kurang dalam pelestarian wisata di IndonesiaAgenda program wisata yang kurang industri pariwisata IndonesiaTantangan industri pariwisata di Indonesia yaitu sebagai berikutDukungan pemerintah dan masyarakat umum daerah yang masih kurang terhadap kawasana wisata di IndonesiaPengembangan wisata di beberapa kawasan tidak menarik para wisatawanRendahnya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian cagar budayaBanyak wisata di negara lain yang lebih menarik dibandingkan dengan wisata di Strategi Pengembangan Industri Pariwisata di IndonesiaPengembangan Objek Wisata di Indonesia akan mendorongnya terjadi peningkatan pendapatan masyarakat yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Seiring dengan itu, pengembangan objek wisata secara langsung atau tidak langsung akan mendorong pertumbuhan dan pengembang wilayah, baik secara fisik, maupun secara sosial, budaya dan yang digunakan pada penelitian ini untuk mengukur strategi pengembangan objek wisata di Indonesia, yaitu dengan indikator planning perencanaan, organizing pengorganisasian, actuating pengarahan, dan controlling pengawasan. Berikut akan diurai masing-masing Planning perencanaan, kurang optimal yakni penyusunan rencana kerja dalam manajemen strategi pengembangan objek wisata yang kurang sesuai dengan kebijakan yang telah dibuat, kurang sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah direncanakan. b. Organizing pengorganisasian, kurang jelasnya perincian kerja antara pihak Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten dengan pihak UPT sebagai pengelola/pengembang objek wisata, termasuk penempatan dan pembagian tugas masing-masing pihak Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten dengan UPT Actuating pengarahan, tidak adanya pedoman kerja dalam manajemen strategi pengembangan objek wisata, tidak adanya pengarahan bagi pihakpihak terkait dan kurangnya koordinasi antara Instansi terkait seperti Dinas Pekerjaan Umum PU, pihak Kecamatan Rupat Utara, pihak UPT Pariwisata, Kepala Desa, dan RT/RW Controlling pengawasan, pengawasan yang dilakukan kurang optimal yakni tidak adanya standar yang jelas dalam melakukan pengawasan, kurangnya melakukan penilaian dan tindakan perbaikan yang dilakukan kurang jelas, termasuk sanksi yang diberikan tidak yang mempengaruhi manajemen strategi Dinas Pariwisata dalam pengembangan objek wisata di Indonesiadalah sebagai berikuta. Anggaran/Dana Minimnya anggaran/dana adalah merupakan faktor yang mempengaruhi manajemen strategi Dinas Pariwisata dalam pengembangan objek wisata, dana yang diharapkan dari APBD tidak mencukupi, sehingga anggaran/dana diambil dari proyek yang berkaitan dengan Sumber Daya Manusia SDM Rendahnya tingkat pendidikan pihak pengelola/pengembang objek wisata, berpengaruh terhadap pengembangan objek wisata itu sendiri. Rata-rata tingkat pendidikan pihak pengelola/pengembang objek wisata tamat SMA Sekolah Menengah Atas.c. Sarana dan Prasarana Kurangnya sarana dan prasarana juga berpengaruh terhadap manajemen strategi Dinas Pariwisata dalam pengembangan objek wisata. Sarana prasarana yang dimaksud adalah tidak adanya penginapan, rumah makan, jasa kesehatan, rumah ibadah dan MCK Mandi Cuci Kakus.Strategi Perencanaan Pengembangan Pariwisata di IndonesiaStrategi KebijakanMembuat pedoman umum serta pedoman pengelolaan objek wisata yang lebih terfokus pada Manajemen Wisatawan yang meliputi interprestasi dan pengaturan pola arus pengunjung. Membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk berinvestas, serta Dinas Pariwisata Kabupaten melakukan promosi objek Fasilitas dan Aktivitas WisataUntuk jumlah akomodasi yang ada diperlukan mengoptimalkan kualitas secara fisik bangunan dan pelayanan, sehingga tercapai standar pelayanan yang baik, dengan demikian diperlukan masukan-masukan dari pemerintah kepada para pengelola akomodasi sebagai rekomendasi peningkatan standar pelayanan hotel, sanitasi dan kepuasan konsumen. Diperlukan adanya perbaikan akses jalan, banyaknya fasilitas makan dan minum namun belum mencapai standar dalam hal sanitasi dan kesehatan, dengan demikian diperlukan pula pembuatan standar dan persyaratan fasilitas makan dan minum oleh pemerintah sehingga kondisinya lambat laun dapat menyesuaikan dengan standar Strategi Produk. Strategi produk dapat dilakukan dengan menambahkan atraksi wisata yang unik dan menarik segmen yang lebih luas lagi, misalnya bagi kaum muda dapat menambahkan fasilitas penampilan adat budaya yang dapat dikelola langsung oleh Strategi Harga Biaya wisata masih sangat terjangkau oleh wisatawan dan sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Dapat dilakukan studi yang berkelanjutan mengenai perubahan pola perilaku pasar objek wisata di Indonesia ehingga dapat lebih memberikan penyesuaian untuk harga yang pantas3. Strategi Tempat Place/Distribution Objek wisata di Indonesia sudah dilakukan pendistribusian dengan baik. KESIMPULANPenelitian ini bertujuan untuk membuat berbagai perencanaan strategi pengembangan destinasi wisata di Indonesia. Kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki oleh industri wisata di Indonesia dianalisis secara komprehensif. Dari hasil analisis tersebut diperoleh gambaran bahwa kawasan objek wisata di Indonesia memiliki daya kompetitif yang rendah untuk menghadapi ancaman dari destinasi wisata lainnya. Selain itu diperlukan juga pembenahan kualitas dan kuantitas infrastruktur dan fasilitas penunjang. Keberadaan para stakeholder yang berkecimpung di industri pariwisata kota tidak ada salahnya untuk menjalankan strategi yang direkomendasikan oleh penulis dan dilakukan evaluasi lebih lanjut. Sehingga, apabila masih terdapat kekurangan atau kelemahannya, hal tersebut bisa menjadi bahan kajian yang menarik dalam penelitianpenelitian PUSTAKAArif, T. M. H., & Hossin, M. Z. 2016. A comparative analysis of internal and external environments between Hotel Hyatt, UK and Hotel The Cox Today, Cox's Bazar, Bangladesh. IOSR Journal of Humanities and Social Science, 216, 13-22. I. N. 2015. Promotion strategy dan peran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dalam meningkatkan kunjungan wisatawan. Jurnal Ilmu & Riset Manajemen, 36, 1-18. Retrieved from A. 2017. Tourism development and strategy for increasing numbers of visitors in Kediri. Journal of Indonesian Tourism and Development Studies, 52, 131-136. D. W., Sunaryo, & Yudaningtyas, E. 2015. Fight for the spirit game bergenre RPG menggunakan Fuzzy-SWOT berbasis web. Jurnal EECCIS, 91, L. 2010. Tourism as a development factor in the light of regional development theories. Tourism, 201, 5-10. H. H., & Huang, W. C. 2006. Application of a quantification SWOT analytical method. Mathematical and Computer Modelling, 431-2, 158-169. Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
PengertianPariwisata. Pengertian pariwisata dapat kita lihat dari pendapat para ahli berikut ini. Pariwisata erat kaitannya dengan dunia liburan, senang-senang, study tour dan juga bisnis. Pemerintah juga memperhatikan secara khusus sektor pariwisata, tentu saja melalu Dinas Pariwisata yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia.
Berbicara mengenai Bali tentunya selalu dikaitkan dengan industri pariwisatanya yang telah berkembang sejak puluhan tahun silam. Pertumbuhan industri ini nyatanya telah menimbulkan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan sektor ekonomi dan industri lainnya di Pulau Dewata. Hanya saja, sebagai industri yang menggabungkan barang dan jasa, eksistensi pariwisata sangat bergantung pada keberadaan konsumen, yaitu wisatawan. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan kuantitas wisatawan ke Bali di tengah kompetisi industri pariwisata secara global. Menurut akademisi sekaligus praktisi pariwisata, Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE, MA, pengembangan pariwisata berkelanjutan dapat menjadi solusi meningkatkan daya saing kepariwisataan Bali. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Prinsip Pariwisata Harus Mengedepankan Konsep Berkelanjutan dan Berkualitas by travelife Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE, MA Rektor Universitas Dhyana Pura Berbicara mengenai Bali tentunya selalu dikaitkan dengan industri pariwisatanya yang telah berkembang sejak puluhan tahun silam. Pertumbuhan industri ini nyatanya telah menimbulkan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan sektor ekonomi dan industri lainnya di Pulau Dewata. Hanya saja, sebagai industri yang menggabungkan barang dan jasa, eksistensi pariwisata sangat bergantung pada keberadaan konsumen, yaitu wisatawan. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan kuantitas wisatawan ke Bali di tengah kompetisi industri pariwisata secara global. Menurut akademisi sekaligus praktisi pariwisata, Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE, MA, pengembangan pariwisata berkelanjutan dapat menjadi solusi meningkatkan daya saing kepariwisataan Bali. Menurut Gusti Rai Utama, pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism merupakan konsep pariwisata yang memperhitungkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, tidak hanya untuk saat ini melainkan juga di masa depan. Keberadaan kegiatan pariwisata tidak hanya memberikan keuntungan atau profit bagi investor, juga menyejahterakan masyarakat lokal. Serta tetap mempertahankan keanekaragaman hayati di suatu destinasi wisata dan melestarikan nilai-nilai warisan budaya masyarakat setempat. Gusti Rai Utama yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Dhyana Pura periode 2019-2023 ini optimis jika konsep pariwisata berkelanjutan dapat terealisasikan di Bali. Terbukti dengan adanya gerakan pembangunan pariwisata berkelanjutan di desa-desa wisata, baik yang diinisiasi oleh pemerintah maupun dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Gusti Rai Utama pun berkesempatan menjadi salah satu fasilitator dalam Program Pendampingan Desa Wisata yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. “Prinsip keberlanjutan yang diterapkan dalam program pendampingan desa wisata ini adalah mewujudkan idealisme ekonomi berbasis kerakyatan. Hal ini diimplementasikan dengan memberdayakan seluruh elemen di desa untuk menggerakkan pariwisata. Sebagai contoh, tidak diperlukan pembangunan akomodasi baru di desa wisata. Rumah-rumah warga dapat dimanfaatkan sebagai homestay. Di satu sisi menjadi daya tarik bagi wisatawan sementara di sisi lain dapat memunculkan rasa kebanggaan terhadap masyarakat lokal karena mereka tidak hanya menjadi penonton melainkan telah berpartisipasi di industri pariwisata Bali,” ujar Gusti Rai Utama. Lanjutnya, dampak positif lainnya yang dirasakan oleh desa binaan adalah tidak adanya eksploitasi lingkungan untuk kepentingan pariwisata. Selama ini pariwisata dianggap sebagai penyebab kerusakan ekologi karena kegiatan pariwisata memerlukan pembukaan lahan secara masif. Melalui konsep pariwisata berkelanjutan ini, pelaku pariwisata hanya perlu mengelola potensi alam yang ada secara bijak guna mewujudkan prinsip keberlanjutan pada aspek lingkungan hidup. Prinsip Pariwisata Berkualitas Lebih jauh Gusti Rai Utama memaparkan, tidak hanya prinsip keberlanjutan tetapi juga prinsip pariwisata berkualitas menjadi concern bagi semua pihak. Pria yang meraih gelar Doktoral Pariwisata di Universitas Udayana ini mengatakan bahwa pariwisata yang berkualitas mengacu pada tiga dimensi atau Triangle Quality Tourism. Pertama adalah Quality of Touris Experience atau kualitas pengalaman berwisata yang dirasakan wisatawan. Dalam dunia pariwisata, kepuasan wisatawan menjadi indikator keberhasilan layanan dalam industri. Setelah mengetahui bahwa kepuasan para wisatawan bergantung pada kualitas servis yang diberikan, maka perlu diketahui apa saja yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan tersebut. Misalnya saja tingkat pendidikan dan kesejahteraan hidup SDM. Semakin tinggi tingkat pendidikan atau semakin tinggi tingkat kesejahteraan SDM, maka akan baik pula kualitas pelayanan yang dapat diberikan. Sehingga dapat disimpulkan Quality of Life para SDM ini dapat menjadi salah satu indikator pariwisata yang berkualitas. Selain Quality of Tourist Experience dan Quality of life local people, kualitas investor atau quality of investor juga menjadi salah satu indikator penyelenggaraan pariwisata yang berkualitas. Menurut Gusti Rai Utama, investor tidak hanya dari pihak asing. Pemerintah pun merupakan investor yang memiliki peranan yang cukup besar dalam pengembangan pariwisata di Bali. Salah satu kontribusi pemerintah selaku investor adalah mengembangkan destinasi wisata yang sudah ada namun belum terkelola secara optimal. “Destinasi inilah yang menjadi daya tarik utama atau core business dari industri pariwisata. Pengelolaan destinasi wisata harus mempertimbangkan aspek 4A, yaitu Attraction, Accessibility, Amenity, dan Ancillary,” ujar penulis buku Pemasaran Pariwisata’ tersebut. Aspek pertama adalah attraction atau atraksi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan apa yang bisa dilihat dan dilakukan oleh wisatawan di destinasi tersebut. Kemudian accessibility atau akses menuju destinasi tersebut. Menurut Gusti Rai Utama, aspek inilah yang perlu menjadi perhatian bagi pemerintah. Ia melihat banyak destinasi wisata yang menyajikan potensi alam yang indah dan tradisi masyarakat yang unik di Bali, namun tak sedikit juga di antaranya belum terjangkau oleh para wisatawan. Entah karena infrastruktur yang kurang memadai atau tidak adanya akses transportasi menuju destinasi-destinasi yang dimaksud. Selanjutnya amenity atau amenitas, berkaitan dengan ketersediaan sarana akomodasi untuk menginap serta restoran atau warung untuk makan dan minum. Hal ini terbilang sudah cukup banyak tersedia di Bali, bahkan ada anggapan bahwa adanya overload kamar akomodasi di Bali. Terakhir adalah ancilliary berkaitan dengan ketersediaan sebuah organisasi atau orang-orang yang mengurus destinasi tersebut. Aspek ini juga cukup tersedia karena banyak organisasi atau perhimpunan pariwisata yang memiliki concern terhadap geliat pariwisata Bali. SDM Pariwisata Selain pengelolaan destinasi wisata, hal yang harus diperhatikan untuk mewujudkan pariwisata yang berkualitas adalah penguatan SDM. Gusti Rai Utama menilai bahwa SDM pariwisata yang ada di Bali sebenarnya memiliki keunggulan dalam hal hospitality. Kualitas pelayanan yang diberikan dibarengi karakter keramahtamahan yang merupakan kepribadian orang Bali, menjadi nilai plus para SDM lokal yang tidak dapat ditemukan di hotel berbintang di luar negeri. Hanya saja yang belum banyak diperhatikan adalah standar kompetensi para pekerja pariwisata tersebut. Standar kompetisi dapat dibuktikan melalui sertifikasi yang diuji setiap beberapa periode. Padahal faktanya di lapangan banyak pegiat pariwisata yang enggan meningkatkan kompetensi diri atau berupaya mengantongi sertifikasi yang bisa meningkatkan daya saing mereka di tengah era persaingan global seperti saat ini. Karena itulah, diperlukan sinergi antara pemerintah dengan dunia pendidikan yang merupakan pencetak para SDM pariwisata. Pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan menyediakan regulasi yang tepat untuk mengakomodir kebutuhan para pekerja pariwisata dalam mengakses sertifikat kompetensi. Sementara lembaga pendidikan menjadi institusi yang menyelenggarakan dan menerbitkan sertifikat kompetensi tersebut. Gusti Rai Utama menjelaskan bahwa Universitas Dhyana Pura atau populer dengan nama Undhira tersebut, selama ini telah menjadi institusi pendidikan yang membekali para lulusannya dengan sertifikat kompetensi. Pemberian sertifikasi ini juga tidak dilakukan secara sembarangan melainkan telah melalui proses uji kompetensi terlebih dahulu. Diharapkan melalui sertifikat sesuai kompetensi masing-masing, para lulusan Undhira siap terjun di dunia kerja. Undhira merupakan perguruan tinggi swasta yang berwawasan kepariwisataan berkelanjutan. Seluruh program studi yang ada di Undhira dirancang untuk mencetak SDM profesional yang dapat terjun di industri pariwisata. Namun jangan salah, prodi yang ditawarkan tidak hanya sebatas berkaitan dengan kegiatan perhotelan atau pun perjalanan wisata. Ada pula prodi yang mempelajari ilmu di bidang medis. Salah satunya adalah program S1 Fisioterapi. “Sekilas tidak nampak hubungan langsung antara tenaga fisioterapis dengan kegiatan pariwisata. Dalam kegiatan wisata tidak dapat dipungkiri adanya resiko cidera fisik yang dapat dialami sewaktu-waktu oleh wisatawan selama berwisata. Pada saat momen itulah dibutuhkan tenaga medis yang tidak hanya menguasai wawasan kesehatan juga memiliki kecakapan komunikasi dengan para wisatawan itu. Maka dalam kegiatan perkuliahan program S1 Fisioterapi, mahasiswa tidak hanya belajar seluk beluk fisioterapis juga belajar mengenai hospitality dan bahasa asing,” kata rektor peraih gelar Magister Manajemen Agribisnis Udayana tahun 2005 dan Master of Arts di CHN Professional University Leeuwarden, Belanda Tahun 2007 ini. Selain program S1 Fisioterapi, terdapat prodi lainnya yang tergabung di Fakultas Ilmu Kesehatan dan Sains. Antara lain Gizi S1, Kesehatan Masyarakat S1, Psikologi S1, Perekam Dan Informasi Kesehatan S1, dan Biologi S1. Sementara di Fakultas Ekonomika dan Humaniora terdapat jurusan sebagai berikut Akuntansi S1 Manajemen S1 Pemasaran Digital D3 Pengelolaan Perhotelan D4 Pendidikan Guru PAUD S1 Pendidikan Vokasional Kesejahteraan Keluarga S1 dan Sastra Inggris S1. Satu lagi fakultas lainnya adalah Teknologi dan Ilmu Komputer, menaungi dua prodi yaitu Ilmu Komputer dan Sistem Informatika. Profil Gusti Rai Utama Memimpin perguruan tinggi yang menaungi 15 prodi dengan jumlah mahasiswa mencapai orang, bukanlah suatu perkara yang mudah. Diperlukan sikap leadership yang baik guna mencapai sasaran target yang telah ditetapkan. Sejak dilantik pada 2019 lalu, Gusti Rai Utama telah mencanangkan program “Undhira 1000” guna menyiapkan akreditasi institusi dan mencapai target penerimaan mahasiswa baru. Selain itu ia beserta jajaran pimpinan di Undira lainnya tengah mewujudkan visi universitas teladan dan unggulan melalui implementasi tujuh Karakter. “Percaya diri, integritas, keberagaman, kewirausahaan, kepemimpinan yang melayani, profesionalitas dan wawasan global”. Pencapaian sebagai pemucuk pimpinan di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Bali, merupakan buah dari perjalanan kerja keras seorang Gusti Rai Utama. Perjuangan dipenuhi kucuran keringat dan air mata, telah ia lalui bahkan sejak di masa kanak-kanak. Pria yang terlahir dari keluarga dengan kondisi finansial yang kurang baik ini mengaku termotivasi untuk bekerja keras sejak kecil demi meningkatkan taraf hidupnya. Ia memahami bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar yang dapat membawanya terhubung dengan keberhasilan. Maka ia senantiasa bersemangat tatkala mendapat kesempatan menimba ilmu di sekolah formal. Tamat dari SMA di tahun 1990, ia melanjutkan ke PPLP Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pariwisata Dhyana Pura mengambil jurusan Tata Boga. Selanjutnya di tahun 1996 ia melanjutkan ke jenjang S1 Ekonomi Universitas Mahasaraswati. Sambil berkuliah, ia juga bekerja paruh waktu sebagai sopir. Ia menuturkan tidak pernah merasa berkecil hati pernah memiliki masa lalu sebagai sopir. Ia justru bangga karena telah dapat membuktikan diri telah mampu mentransformasikan kehidupannya lewat kerja keras dan tekun berusaha. Setelah menyandang gelar Sarjana Ekonomi, ia mendapat tawaran mengajar sebagai dosen di Sekolah Tinggi Manajemen Dhyana Pura. Kesempatan inilah yang menjadi momentum bagi Gusti Rai Utama untuk mengubah keadaan hidupnya. Sejak saat itu pula banyak kesempatan emas yang ia dapatkan, salah satunya mendapatkan beasiswa berkuliah di Negeri Belanda. Setelah itu kariernya kian meningkat, selain menjadi dosen ia juga kerap menjadi pembicara dalam seminar juga menerbitkan berbagai buku. Sempat menjabat sebagai Wakil Rektor, kini Gusti Rai Utama dipercaya menjadi Rektor Undhira. Kisah perjalanan hidupnya tentu dapat menjadi sumber inspirasi, terutama bagi kalangan generasi muda. Gusti Rai Utama berpesan, kepada siapa pun yang merasa terlahir dari keluarga kurang mampu dan tidak memiliki akses menuju cita-cita, jangan sampai berkecil hati. Justru keterbatasan itulah hendaknya dijadikan cambuk motivasi untuk berusaha mencapai apa pun yang diinginkan. Sementara untuk siapa saja yang hidup dengan segala kemudahan untuk jangan terlena dengan apa yang dimiliki. Segera keluar dari zona nyaman dan berusaha secara mandiri, sebab apa yang kita miliki sekarang tidaklah bersifat abadi. Sumber ResearchGate has not been able to resolve any citations for this has not been able to resolve any references for this publication. kegiatanwisatawan yang menghasilkan pengelolaan sumber daya yang efisien dalam mencapai kebutuhan ekonomi, sosial dan es- Karena prinsip-prinsip pengembangan pariwisata berkelanjutan tampaknya telah ditetapkan oleh negara berkembang tanpa memperhitungkan kondisi perkembangan dunia (Tosun, 2001).

Sejarah Pembangunan BerkelanjutanDefinisi Pembangunan BerkelanjutanPrinsip Dasar Pembangunan BerkelanjutanAspek pembangunan ekonomiAspek pembangunan lingkungan alamAspek pembangunan sosial-budayaKomponen Pembangunan Pariwisata BerkalanjutanIndikator Pembangunan Pariwisata BerkelanjutanJenis-jenis Pariwisata BerkelanjutanReferensi Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan sustainable tourism development muncul diakibatkan oleh dampak buruk dari kegiatan pariwisata, terutama pada masa tumbuh dan berkembangnya pariwisata masal mass tourism di berbagai destinasi pariwisata di dunia. Pariwisata masal pada waktu itu sangat identik dengan perencanaan yang buruk, tidak terkendali sporadis, dan terkesan hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi semata atau materialistis, sehingga seringkali dapat mengikis atau mengurangi kemampuan daya dukung, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya sosial budaya. Dampak buruk tersebut dapat merusak keberlangsungan ekonomi masyarakat secara jangka panjang. Oleh sebab itu, munculah konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan yang diharapkan bisa meminimalkan dampak buruk atau dampak negatif pembangunan pariwisata secara jangka panjang. Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan mulai digaungkan pada tahun 1980-an Sirakaya dkk., 2001. Konsep tersebut sebenarnya diadopsi dan dipostulasikan dari konsep pembangunan berkelanjutan sustainable development sebagai konsep besarnya. Menurut Maksimeniuk & Timakova 2020, definisi pembangunan berkelanjutan mulai disebutkan pertamakali dalam “World Environment Protection Strategy” yaitu suatu undang-undang international mengenai strategi proteksi lingkungan yang dikeluarkan oleh World Conservation Union atau sekarang dikenal dengan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources IUCN pada tahun 1980. Selanjutnya, pembangunan berkelanjutan tidak hanya sebatas dalam konsep yang diteliti oleh para peneliti dan akademisi saja, tetapi mulai diadopsi dalam berbagai kebijakan dan peraturan oleh negara-negara di dunia yang selanjutnya menjadi agenda bersama dari negara-negara PBB. Pertemuan demi pertemuan internasional mengenai pembangunan berkelanjutan telah terselenggara yang diinisiasi oleh negara-negara PBB seperti Earth Summit di Rio de Janeiro-Brazil 1992, Millennium Summit pada September 2000 di kantor pusat PBB di New York, KTT Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan di Afrika Selatan 2002, Konferensi PBB dalam pembangunan berkelanjutan Rio+20 di Rio de Janeiro-Brazil 2012, dan puncaknya pada tahun 2015 dalam KTT Pembangunan Berkelanjutan PBB the UN Sustainable Development Summit terciptalah kebijakan internasional mengenai pembangunan berkelanjutan yang disebut dengan SDGs Sustainable Development Goals atau agenda 2030. Sekarang, SDGs terus direview dan dievaluasi melalui Forum Politik Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan High-level Political Forum on Sustainable Development yang dilakukan setahun sekali. Dengan adanya SDGs ini, pembangunan berkelanjutan telah menjadi isu bersama negara-negara di dunia, terutama negara-negara yang terafiliasi dengan PBB. Definisi Pembangunan Berkelanjutan Dalam World Environment Protection Strategy tersebut, definisi pembangunan berkelanjutan sendiri disebutkan sebagai proses “pembangunan yang dilakukan tanpa menghabiskan dan merusak sumber daya”. Sementara itu, definisi pembangunan berkelanjutan yang paling banyak disitasi saat ini adalah “pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri” WCED, 1987. Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dapat dicapai dengan cara mengelola sumber daya agar dapat diperbarui atau dengan cara beralih dari penggunaan sumber daya yang sulit diperbarui ke sumber daya yang mudah untuk diperbarui. Oleh sebab itu, dalam pendekatan pembangunan berkelanjutan ini, dapat memungkinkan penggunaan dan pemanfaatan sumber daya, yang pada akhirnya tidak hanya dapat digunakan oleh generasi saat ini, tetapi juga dapat digunakan oleh generasi yang akan datang. Deklarasi Den Haag tentang Pariwisata yang diadopsi oleh Inter Parliamentary Union IPU dan Organisasi Pariwisata Dunia UNWTO pada tahun 1989 menunjukkan bahwa pariwisata dan alam sangat saling bergantung. Jadi, tindakan harus diambil untuk membantu perencanaan pembangunan pariwisata yang terintegrasi sesuai dengan konsep “pembangunan berkelanjutan”. Konsep tersebut disebutkan dalam Laporan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan Laporan Brundtland dan dalam laporan ” Environmental Perspective to the Year 2000 and Beyond” yaitu suatu program dari United Nations Environment Program UNEP Maksimeniuk & Timakova, 2020. Jadi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan itu selaras dengan konsep pembangunan berkelanjutan secara umum. Prinsip Dasar Pembangunan Berkelanjutan Pendekatan lain dari konsep pembangunan berkelanjutan yaitu dari sisi prinsip-prinsip atau pilar-pilar tujuan pembangunan yang harus dicapai, yaitu pendekatan keseimbangan pembangunan antara pembangunan ekonomi, perlindungan lingkungan alam dan pembangunan sosial-budaya atau biasa disebut dengan triple bottom lines pembangunan berkelanjutan. Untuk lebih jelasnya berikut aspek-aspek pembangunan berkelanjutan dalam Panasiuk 2011. Sumber Penulis, diolah dari berbagai sumber Aspek pembangunan ekonomi Economic profitability keuntungan ekonomi Memastikan kelangsungan hidup dan daya saing destinasi dan bisnis untuk mencapai kelangsungan hidup secara jangka panjang; Local prosperity kemakmuran masyarakat setempat Memaksimalkan manfaat ekonomi dari sektor pariwisata bagi masyarakat setempat, termasuk pengeluaran wisatawan di destinasi tersebut; Quality of employment kualitas pekerjaan Meningkatkan kuantitas dan kualitas pekerjaan di destinasi yang terkait dengan pariwisata, termasuk upah, lingkungan kerja dan kesempatan kerja tanpa diskriminasi; Sosial equity kesetaraan sosial Memastikan distribusi manfaat sosial dan ekonomi yang adil dan merata yang berasal dari pariwisata. Aspek pembangunan lingkungan alam Physical integrity keutuhan lingkungan fisik Menjaga dan membangun kualitas lanskap, baik di perkotaan maupun pedesaan dan mencegah pencemaran ekologi serta visual; Biological diversity keanekaragaman hayati Mempromosikan dan melindungi lingkungan, habitat alam dan satwa liar, serta meminimalkan dampak pariwisata terhadap lingkungan alam; Effective waste management pengelolaan limbah yang efektif Meminimalkan pemanfaatan sumber daya langka dan tidak terbarukan dalam pengembangan pariwisata; Clean environment kebersihan lingkungan alam Meminimalkan pencemaran air, udara, tanah dan pengurangan limbah oleh wisatawan dan bisnis pariwisata. Aspek pembangunan sosial-budaya Welfare of the community kesejahteraan komunitas Membangun kesejahteraan masyarakat termasuk infrastruktur sosial, akses sumber daya, kualitas lingkungan dan pencegahan korupsi sosial serta eksploitasi sumber daya; Cultural wealth kekayaan budaya Memelihara dan mengembangkan warisan budaya lokal, adat istiadat, dan keunikan karakteristik atau sifat dari komunitas dan masyarakat setempat; Meeting expectations of visitors memenuhi ekspektasi pengunjung Memberikan pengalaman wisata yang aman dan menyenangkan, yang dapat memenuhi kebutuhan dan harapan wisatawan; Local control pengendalian oleh masyarakat setempat Pelibatan masyarakat setempat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan destinasi pariwisata. Komponen Pembangunan Pariwisata Berkalanjutan Dari berbagai definisi yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan berkelanjutan itu sangat memperhatikan keseimbangan, baik keseimbangan dari dimensi waktu yaitu waktu sekarang dan masa depan, maupun keseimbangan dari tujuan pembangunan atau dimensi kepentingan yaitu kepentingan keberlanjutan dari aspek ekonomi, lingkungan alam dan sosial-budaya. Oleh sebab itu, pembangunan pariwisata berkelanjutan juga harus menjalankan prinsip-prinsip keseimbangan tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah upaya melakukan pengelolaan kepariwisataan dengan merealisasikan prinsip pembangunan berkelanjutan, agar sumberdaya pariwisata selalu bernilai dari generasi ke generasi dan keseimbangan antara manfaat ekonnomi, kelestarian lingkungan alam, dan nilai sosial-budaya selalu terjaga. Ketiga prinsip dasar pariwisata berkelanjutan triple bottom lines di atas selanjutnya dikembangkan lagi menjadi 5 lima prinsip oleh UNWTO dengan mengacu pada Sustainable Development Goals SDGs dari UNDP di tahun 2015 yaitu prinsip keseimbangan antara People, Planet, Prosperity, Peace dan Partnership, yang sekarang dikenal dengan singkatan 5 Ps, dengan 17 indikator yang menyertainya. Berikut adalah penjabaran dari 5 Ps tersebut. People dalam SDGs, pembangunan di sektor apapun termasuk kepariwisataan harus bertujuan untuk menghentikan kemiskinan poverty dan kelaparan hunger, dalam segala bentuk dan dimensi apapun, dan juga untuk memastikan bahwa semua manusia memiliki kesetaraan dalam martabat dan dalam lingkungan yang sehat. Planet dalam SDGs, pembangunan di sektor apapun termasuk kepariwisataan harus bertujuan untuk melindungi planet atau sumberdaya alam beserta iklim yang dapat selalu mendukung kebutuhan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Prosperity dalam SDGs, pembangunan di sektor apapun termasuk kepariwisataan harus bertujuan untuk memastikan bahwa semua manusia dapat menikmati kehidupan yang sejahtera, kebutuhan hidup yang terpenuhi, serta memastikan kemajuan ekonomi, sosial dan teknologi berjalan selaras dengan alam. Peace dalam SDGs, pembangunan di sektor apapun termasuk kepariwisataan harus bertujuan untuk menumbuhkan masyarakat yang menjungjung kedamaian, keadilan, dan inklusifitas tidak eksklusif. Partnership dalam SDGs, pembangunan di sektor apapun termasuk kepariwisataan harus bertujuan untuk menguatkan semangat solidaritas dan kolaborasi global, sehingga permasalahan lintas geografis dan lintas sektoral dapat ditanggulangi dengan baik. Indikator Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Indikator pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan metrik yang digunakan untuk mengukur tingkat keberlanjutan sustainability dalam industri pariwisata. Indikator ini sangat berguna untuk dijadikan panduan oleh pengelola destinasi pariwisata baik di tingkat nasional, regional maupun lokal. Indikator yang sering digunakan oleh para pengelola destinasi pariwisata di dunia adalah indikator yang dikeluarkan oleh The Global Sustainable Tourism Council GSTC yang biasa disebut dengan kriteria GSTC-D. GSTC adalah organisasi internasional yang mengkampanyekan praktik pariwisata berkelanjutan di seluruh dunia. GSTC telah mengembangkan seperangkat kriteria destinasi untuk digunakan sebagai tolok ukur untuk mengukur kinerja keberlanjutan suatu destinasi. Kriteria ini dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat bagi destinasi untuk menilai kinerja keberlanjutannya, serta bagi konsumen dan para pemangku kepentingan pariwisata lainnya untuk mengevaluasi keberlanjutan suatu destinasi. Kriteria GSTC-D telah mengalami perbaikan, dan sekarang disebut dengan kriteria GSTC-D v2. GSTC-D v2 terdiri dari empat pilar yang berisi sub-sub pilar yaitu Pengelolaan berkelanjutan, terdiri dari struktur dan kerangka pengelolaan, pelibatan pemangku kepentingan, mengelola tekanan dan perubahan. Kebrlanjutan sosial-ekonomi, terdiri dari manfaat ekonomi lokal, kesejahteraan dan dampak sosial. Keberlanjutan budaya, terdiri dari perlindungan warisan budaya dan mengunjungi situs budaya. Keberlanjutan lingkungan, terdiri dari konversi warisan alam, pengelolaan sumberdaya dan pengelolaan limbah dan emisi. Gambar Kriteria GSTC-D v2 Sumber GSTC 2019 Untuk lebih lengkapnya, Indikator pembangunan pariwisata berkelanjutan berdasarkan GSTC v2 dapat di download di sini. Jenis-jenis Pariwisata Berkelanjutan Dalam berbagai referensi, terdapat banyak bentuk kegiatan pariwisata yang menggunakan prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan antara ekonomi, lingkungan alam dan sosial-budaya. Bentuk-bentuk kegiatan pariwisata tersebut seperti Responsible Tourism pariwisata bertanggung jawab adalah kegiatan pariwisata yang intinya untuk membuat tempat yang lebih baik bagi orang untuk tinggal dan tempat yang lebih baik untuk dikunjungi orang. Pariwisata yang bertanggung jawab mensyaratkan bahwa operator, pelaku bisnis perhotelan, pemerintah, masyarakat lokal dan wisatawan dapat mengambil tanggung jawab serta mengambil tindakan untuk membuat kegiatan pariwisata lebih berkelanjutan Harold Goodwin, 2014. Nature Tourism adalah bentuk kegiatan pariwisata yang bertanggung jawab yang khusus dilakukan di alam, yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal Texas Park & Wildlife, 2021 Equitable Tourism pariwisata berkeadilan adalah salah satu bentuk kegiatan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk menerapkan prinsip-prinsip perdagangan yang berkeadilan di bidang pariwisata dengan memperhatikan serangkaian kriteria yang menitikberatkan pada penghormatan terhadap penduduk setempat dan gaya hidup mereka, serta keberlanjutan kemajuan pariwisata bagi masyarakat setempat. Secara umum istilah “pembangunan pariwisata berkeadilan” berkaitan dengan distribusi kegiatan ekonomi dan akses ke destinasi lintas wilayah, bangsa atau wilayah regional-nasional Patsy Healey, 2002 dalam Saravanan & Rao, 2012. Accessible Tourism adalah adalah upaya berkelanjutan untuk memastikan tujuan wisata, produk, dan layanan dapat diakses oleh semua orang, terlepas dari batasan fisik atau intelektual, disabilitas atau usia mereka Departemen Ekonomi dan Sosial PBB, 2021. Appropriate Tourism adalah salah satu bentuk pariwisata yang tidak membahayakan masyarakat atau budaya, sepanjang tingkat pembangunan pariwisata sesuai’ dengan kebutuhan suatu negara atau daerah Singh, Theuns & Go, 1989. Ecological Tourism adalah pemanfaatan sumber daya alam sebagai produk pariwisata dengan menggunakan prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan. Ecotourism adalah bentuk ecological tourism dengan tujuan utama untuk melestarikan alam atau berinteraksi dengan spesies langka. Kegiatan ekowisata melibatkan unsur edukasi dan interpretasi, serta dukungan untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya pelestarian sumberdaya alam dan budaya. Ekowisata harus memiliki konsekuensi minimal terhadap lingkungan dan juga harus berkontribusi kepada kesejahteraan penduduk setempat Juganaru, Juganaru & Anghel, 2021 Eco-Ethnotourism adalah bentuk ecotourism yang lebih fokus terhadap hasil karya manusia daripada alam, dan berupaya memberikan pemahaman atau edukasi kepada wisatawan tentang gaya hidup masyarakat lokal. Green Tourism atau Environmentally-friendly Tourism adalah bentuk kegiatan pariwisata yang dilakukan dengan cara yang ramah terhadap lingkungan. Soft Tourism selain bertujuan untuk pelestarian lingkungan alam dan perlindungan kesehatan manusia, bentuk pariwisata ini memiliki tujuan lain yaitu untuk tujuan sosial penghormatan terhadap adat istiadat, tradisi, sosial dan struktur keluarga penduduk setempat, dan untuk tujuan ekonomi distribusi pendapatan yang adil dan diversifikasi penawaran pariwisata Juganaru, Juganaru & Anghel, 2021. Rural Tourism adalah bentuk pariwisata yang dilakukan di daerah perdesaan desa wisata yang bertujuan untuk mengharmoniskan kebutuhan pariwisata dan pelestarian lingkungan alam dan sosial-budaya dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Community Tourism adalah bentuk pembangunan pariwisata yang difokuskan pada pelibatan penduduk lokal dan ditujukan untuk kesejahteraan mereka. Penduduk lokal memiliki kendali penuh atas pendapatan yang dihasilkan dari pariwisata, sebagian besar pendapatan ditujukan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat, memberikan perhatian khusus terhadap lingkungan alam dan tradisi penduduk setempat. Bentuk pengembangan pariwisata ini seringkali dipadukan dengan pengembangan kegiatan produksi, seperti transformasi hasil pertanian atau workshop kerajinan, yang produknya terutama dijual kepada wisatawan Juganaru, Juganaru & Anghel, 2021. Pro-poor Tourism adalah bentuk pariwisata yang menghasilkan keuntungan bersih untuk masyarakat miskin. Keuntungan tersebut dapat bersifat ekonomi, sosial, lingkungan atau budaya. Pariwisata yang berpihak pada kaum miskin tidak secara spesifik mengacu pada pariwisata budaya atau etnis Bolnick, 2003. Agritourism adalah bentuk pariwisata yang memungkinkan interaksi antara wisatawan dengan pemilik atau pengelola pertanian di suatu daerah perdesaan dengan prinsip keberlanjutan. Interaksi tersebut menghasilkan suatu aktivitas wisata yang berbasis pertanian seperti perawatan hewan ternak, perawatan tanaman, kerajinan tangan, atau hiburan dan permainan. dan lain-lain. Referensi Bolnick, Steven 2003. Promoting the Culture Sector through Job Creation and Small Enterprise Development in SADC Countries The Ethno-tourism Industry. International Labour Organization Goodwin, Harold 2014. What is Responsible Tourism?. Tersedia Juganaru, I. D., Juganaru, M., Anghel A. Sustainable Tourism Types, Tersedia Https// Maksimeniuk, V., & Timakova, R. 2020. Revisiting the notion of “sustainable tourism” for legal regulation purposes in russian federation and republic of belarus. Les Ulis EDP Sciences. doi Panasiuk, A. red. 2011. Ekonomika turystyki i rekreacji Economics of tourism and recreation. Wydawnictwo Naukowe PWN Saravanan, A & Rao Y. Venkata 2012. Equitable Tourism Development Need For Strategic partnership. International Journal of Multidisciplinary Research, Issue 3. Singh, T. V. ; Theuns, H. L. ; Go, F. M. 1989. Towards appropriate tourism the case of developing countries. Frankfurt-am-Main Peter Lang Sirakaya, E., Jamal, T. and Choi, 2001, “Developing tourism indicators for destination sustainability”, in Weaver, Ed., The Encyclopedia of Ecotourism, CAB International, New York, NY, pp. 411-32. World Commission on Environment & Development WCED 1987, Our Common Future, Oxford University Press, Oxford.

Gambarandari Implementasi Kebijakan Pengembangan Pariwisata Pengertian Pariwisata Pada Dasarnya Pariwisata Sangat Mengandalkan Adanya Keunikan, Kekhasan, Kelokalan, Dan Keaslian Alam Dan Budaya Yang Tumbuh Dalam Masyarakat. Melihat Pada Pengertian Dalam Perda Kota Batu Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan, Menyatakan Bahwa Pariwisata Adalah Berbagai Macam Kegiatan Wisata

bagaimanakah prinsip ekspansi kegiatan wisata – Selamat nomplok di laman kami. Pada kesempatan ini admin akan mengomongkan perihal bagaimanakah prinsip pengembangan kegiatan pelancongan. Definisi Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan oleh UNWTO from Termasuk masyarakat agar peduli terhadap. Bab ii kajian teori a. • pelancongan berkelanjutan sustainable tourism proses pembangunan pariwisata yang cenderung pada pengelolaanseluruh sumber sendi kalimantang yang memasrahkan manfaat jangka. bagaimanakah prinsip pengembangan kegiatan tamasya. Bagaimanakah Prinsip Ekspansi Kegiatan Pelancongan Forum peduli masyarakat wisata indonesia fpmpi “ekspansi tamasya didasarkan pada patokan keberlanjutan yang secara ekologis harus dikelola dalam. Bab ii kajian teori a. Kebijakan peluasan barang tamasya • asas keberlanjutan sustainability, keserasian harmonizes, keterjangkauan. Partisipasi, tamasya harus melibatkan publik tempatan n domestik pembangunan. Bagaimanakah prinsip pengembangan kegiatan wisata? Cara ekonomi berkaitan dengan sistem pencatuan keuntungan yang timbul semenjak ekspansi industry pariwisata. Bagaimanakah prinsip pengembangan kegiatan pariwisata? Pariwisata merupakan perantaraan aktivitas dan kegiatan perjalanan nan dilakukan oleh perorangan, keramaian atau keluarga ke suatu tempat secara. Perkembangan industri tersebut tidak hanya. Ekspansi pelancongan berkelanjutan dan pelancongan berbasis umum. Gambaran dari implementasi strategi pengembangan pariwisata signifikansi wisata pada dasarnya pariwisata sangat mengandalkan adanya keunikan, kekhasan,. Teknologi dan juga internet di masa. Forum peduli mahajana pariwisata indonesia fpmpi “peluasan pariwisata didasarkan pada kriteria keberlanjutan nan secara ekologis harus dikelola dalam. Peran pemerintah internal pengembangan pariwisata. Destinasi wisata diharapkan telah merumuskan dan mengaplikasikan pengembangan garis haluan jangka tataran dengan. Pariwisata berkelanjutan semestinya tidak diarahkan pada kegiatan pemanfaatan perigi taktik alam dan mileu semata yang pada risikonya boleh mengancam fungsi ekologi. Bab ii kajian teori a. Pariwisata berbasis masyarakat community based tourism salah satu point penting n domestik konsep pengembangan wisata berkelanjutan, yaitu bagaimana umum lokal dapat. Prinsip ekspansi kegiatan pariwisata yaitu sebagai berikut. 3s, pendirian pengembangan tamasya senin, februari 6 3s, pendirian ekspansi pelancongan guru geografi 06 februari geowisata tamasya merupakan salah suatu sektor yang. Kooperasi, pariwisata harus mengikutsertakan awam tempatan dalam pembangunan. Peluasan sektor industri wisata di dunia rata-rata dan di timor leste khususnya telah berkembang minus begitu pesat. Studi kasus yang luar konvensional intern membangun pariwisata kontinu ke dalam pengembangan komoditas sama dengan yang dilakukan oleh the queensland tourism strategy yang. Tamasya harus melibatkan publik lokal dalam pembangunan. Sekuritas domino yang mensejahterakan pemukim. Sudahlah itulah pembahasan tentang bagaimanakah cara pengembangan kegiatan pariwisata yang bisa kami sampaikan. Terima pemberian sudah koneksi berkunjung di website aku. supaya artikel yang kami bahas diatas memangkalkan manfaat untuk pembaca dengan melimpah fisik nan mutakadim wasilah berkunjung di website ini. beta berpretensi dorongan sejak semua partai cak bagi pelebaran website ini biar lebih baik lagi.
Prinsipprinsip pengembangan pariwisata yang berkelanjutan : Mengintegrasikan pariwisata ke dalam kebijakan umum pembangunan berkelanjutan agar pengembangan pariwisata selaras dengan tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup nasional maupun regional. Pengembangan pariwisata berkelanjutan harus didukung dua komponen penting, yaitu perencanaan

Pembangunankepariwisataan di Indonesia mencakup 4 pilar pembangunan kepariwisataan yakni: (1)destinasi; (2)pemasaran; (3)industri, dan (4)kelembagaan. Keempat pilar tersebut merupakan upaya perwujudan azas pembangunan dengan memerhatikan keanekaragaman, keunikan dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Pengembangan pariwisata harus dilihat dalam satu kesatuan

9sEVRy.
  • 2eaxpisdxg.pages.dev/449
  • 2eaxpisdxg.pages.dev/453
  • 2eaxpisdxg.pages.dev/471
  • 2eaxpisdxg.pages.dev/436
  • 2eaxpisdxg.pages.dev/199
  • 2eaxpisdxg.pages.dev/161
  • 2eaxpisdxg.pages.dev/55
  • 2eaxpisdxg.pages.dev/428
  • bagaimanakah prinsip pengembangan kegiatan pariwisata